SENTILAN SUNAN KALIJAGA

Petruk Jadi Ratu, Lakon dalam pewayangan karya Sunan Kalijaga.  Sejak dimulainya pagelaran wayang kulit hingga tengah malam disebut segmen ‘JEJER ‘ yang ditandai dengan ‘gunungan’ miring ke kiri. Dalam segmen ini diceritakan banyak terjadi intrik, skenario, dan rencana keji para ‘KURAWA’ untuk menjatuhkan ataupun mencelakakan ‘PENDAWA’, tujuan akhirnmya adalah Kurawa ingin menguasai Pendawa. Suyudana, Raja Kurawa beserta para punggawanya : Burisrawa, Dursasana dan yang lainnya sangat ambisi menghancurkan Pendawa. Maka dibantu oleh Patih Sengkuni, Suyudana cs menyusun skenario disertai intrik politik dan fitnah-fitnah keji terhadap Pendawa.  Dengan memanfaatkan peran Batara Durna, guru dari Kurawa maupun Pendawa, maka Patih Sengkuni berhasil menyusun berbagai rencana-rencana menjatuhkan bahkan menghabisi satu persatu personil Pendawa ; Puntadewa, Bima, Harjuna, dan si kembar Nakula-Sadewa.

Segmen Jejer adalah segmen ‘ontran-ontran politik’.  Kekisruhan politik tingkat tinggi dengan berbagai intrik dan skenario kaum pengrusak terhadap kalompok yang benar dan menjadi tertindas.  Memasuki tengah malam, sang Dalang kemudian ‘menegakkan gunungan’, pertanda memasuki segmen’GORO-GORO’.

Di tengah kekisruhan politik dan fitnah yang menyebar, alam pun marah. Bencana alam datang bertubi-tubi. Digambarkan oleh sang dalang ‘Bumi gonjang-ganjing, langit kerlap-kerlip. Lindu makaping-kaping, bumi goncang, gunung mbleduk, samudra kocak, larang sandang larang pangan begitulah seterusnya’.  Sungguh betapa dahsyatnya kondisi pada saat itu.   Para pejabat tengah kacau balau.   Kaum Kurawa melancarkan serangan politiknya bahkan sampai mencelakakkan Pendawa, dan  Pendawa sibuk menyelamatkan diri, menghalau fitnah, dan apa saja di tengah kekacauan intrik lawan.  Sementara itu musibah bencana alam datang dari segala penjuru.  Gempa bumi, gunung meletus, samudra kocak (sunami/banjir rob), angin ribut dan sebagainya. Kondisi alam tak bersahabat, kondisi politik kacau balau.  

Masyarakat dirundung susah. Bencana Alam telah membuat kesengsaraan, merenggut jiwa dan menelan harta benda, sehingga yang terjadi sandang pangan serba mahal. Pejabat tak lagi mampu menata kondisi masyarakat, entah karena tengah sibuk dengan kekisruhan politiknya.  Ditengah kekisruhan kondisi tersebut, dalam segmen Goro-goro ini lalu muncullah ‘para punokawan’, Gareng, Petruk, dan Bagong.  Punokawan, gambaran kaum ‘kacung’, masyarakat kecil yang menjadi abdi para majikan.

Di tengah kondisi masyarakat seperti ini, Goro-goro, yang muncul punokawan, bukan para raja, pejabat atau bangswan. Punokawan kemudian mengajak para penonton (masyarakat) untuk menghibur diri untuk menurunkan stress dengan hiburan lawakan dan nyanyiannya.  Bersama para pesinden dan panayaga (penabuh gamelan) bahkan sesekali ada artis bintang tamu, punokawan sangat kompak menghibur penonton.  Hiburan, nyanyian dan guyonan sangat efektif untuk melepaskan segala beban yang tengah dihadapi. Masyarakat terhibur seakan lupa apa yang sedang terjadi, lupa kekisruhan politik dan dampak bencana alam.

Goro-goro tak berlangsung lama, kira-kira 1-2 jam dalam lakon pewayangan ini. Namun telah berhasil mengocok perut penonton dan lupa akan masalah yang terjadi.  Di penghujung segemen goro-goro ini kemudian muncullah ‘SEMAR’. Bapak dari para punokawan, dan tokoh bijaksana dan melegakkan setiap omongannya, serta menjadi panutan semua orang.  Baik Pendawa maupun Kurawa, baik kalangan raja, bangsawan, pandhito, maupun rakyat kecil.  Semar mengingatkan para punokawan agar menyudahi lelucon dan guyonannya, agar mengingat kembali apa yang tengah terjadi.

Masyarakat tidak boleh larut dalam kesedihan namun tak boleh lalai hanya karena hiburan.  Semar mengajak punokawan untuk memikirkan kekisruihan politik dan kondisi kacau masyarakat yang tengah terjadi.  Ketika para pejabat tak lagi mampu menangani masalah, bahkan sibuk menyelamatkan dirinya sendiri. Semar mengingatkan kepada semua agar kembali ‘Eling’.

Di pengujung segmen goro-goro ini, para punokawan berhasil membaca situasi masyarakat dan para pejabat. Perlahan para punokwan ini memiliki titik terang duduk permasalahan, siapa penyebar fitnah, dan siapa koprban fitnah. Titik terang mulai Nampak, namun para pejabat belum mampu menyelesaikan masalahnya.

Dalam kondisi seperti tersebut diatas, Petruk merasakan kegelisahan yang teramat sangat, lalu dengan caranya, lalu ia pun kemudian menjadi raja, ya.. ‘PETRUK JADI RATU’.  Bisa dibayangkan, masyarakat kecil, Petruk seorang ‘Jongos’, kemudian menjadi Ratu. Yang terjadi adalah Petruk mabuk kekuasaan. Makan enak, karena selama ini tak pernah makan enak, mabuk harta, karena selama ini tak pernah punya harta. Petruk merubah tatanan pemerintahan. Apapun yang dianggapnya tidak sesuai dengan kehendaknya, ia rubah sedemikian rupa. Petruk menjadi ratu seperti mabuk kekuasaan.

Bahkan saking berkuasanya, Petruk ingin merebut Srikandi, Istri Harjuna (majikan petruk) untuk dipersitri. Banyak pihak yang tidak berkenan atas kelakukan Raja Petruk ini. Bahkan negeri kahyangan pun marah atas kelakukan Raja Petruk. Batara Guru, selaku pimpinan para Dewa-pun akhirnya turun ke bumi untuk mengingatkan Petruk.  Namun apa yang terjadi, Batara Guru tewas ditangan Raja Petruk.

Singkat cerita, Petruk menjadi Raja yang mabuk kekuasaaan. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan saat Raja Petruk mabuk kekuasaan, Ia selalu menyisihkan harta dana makanan untuk masyarakat kecil, sehingga ia pun dijuluki ‘PRABU KANTONG BOLONG’.  Kantong Bolong digambarkan karena ia selalu berbagi untuk rakyat kecil.

Kelakuan Raja Pteruk ini lalu ditangani oleh SEMAR. Semar mendatangi petruk dan dapat melumpuhkannya dengan segala wasiat dan wejangan. Dan akhirnya Petruk pun turun tahta, kembali menjadi rakyat biasa, ‘Jongos’ bagi para majikan.

Goro-goro berakhir, kini sang Dalang memiringkan ‘GUNUNGAN KE KANAN’. Dalam segmen akhir ini, makin jelas apa yang sedang terjadi. Pelaku fitnah dan intrik politik ketahuan belangnya. Dan akhirnya Pendawa (kebenaran) dapat selamat dan dapat menaklukan Kurawa (kemunkaran)’.  Kurawa, Lambang kemunkaran.  Pendawa, lambang Kebernaran,  Punokawan, lambang rakyat kecil yang tulus Semar, asal kata Ismar (paku), melambangkan ‘Patokan’. Patokan hidup manusia adalah Agama.

    • osolihin
    • Maret 30th, 2011

    Terus menulis Pak. Asah kemampuannya agar lebih baik lagi. Tetap semangat! 🙂

  1. Juni 1st, 2011

Tinggalkan komentar